Pengarusutamaan Gender sebagai Upaya Pencegahan Kematian Ibu

By : Dra. Maryanah, M.Kes

Pengarusutamaan gender perlu dipahami dahulu tentang “gender”. Kata “gender” dicetuskan pertama kali oleh Anne Oakley (Muslikhati, 2002), ada dua istilah yang seringkali dianggap sama oleh masyarakat yaitu “Sex” dan “Gender” kedua istilah ini terkait dengan area “Nature” dan area “Culture”. Pengertian seks (jenis kelamin) merupakan pembagian dua jenis kelamin (penyifatan) manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Sedangkan gender merupakan pembedaan antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial, yakni perbedaan yang diciptakan oleh manusia melalui proses sosial dan kultural yang panjang. (Faqih, 2012). Gender sebagai konstruksi sosial budaya diartikan sebagai pembedaan peran dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki yang ditentukan secara sosial diturunkan secara kultural dan terinternalisasi menjadi kepercayaan turun temurun dari generasi ke generasi dan diyakini sebagai suatu ideologi.

Masalah gender muncul bila  ditemukan perbedaan hak, peran dan tanggung jawab   karena adanya nilai-nilai sosial budaya yang tidak menguntungkan salah satu jenis kelamin (lazimnya perempuan).

Untuk itu perlu dilakukan rekontruksi sosial sehingga nilai-nilai sosial budaya yang tidak menguntungkan tersebut dapat dihilangkan dan masalah kesehatan reproduksi yang erat kaitannya dengan ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender dapat dihindari, khususnya kematian ibu dan anak.

Berbagai bentuk ketidakadilan dan ketidak setaraan gender (KPP&PA, 2010), yaitu stereotipe, yang dimaksud adalah suatu sikap negatif masyarakat terhadap perempuan yang membuat posisi perempuan selalu pada pihak yang dirugikan, bermacam-macam bentuk stereotipe misalnya perempuan bersolek dianggap memancing perhatian lawan jenis sehingga jika terjadi pelecehan seksual maka perempuan yang disalahkan. Kekerasan adalah segala bentuk kekerasan yang akibatnya berupa kerusakan atau penderitaan fisik, seksual, psikologis pada perempuan termasuk ancaman-ancaman dari perbuatan semacam itu, seperti paksaan atau perampasan kemerdekaan yang semena-mena, baik yang terjadi di tempat umum atau di dalam kehidupan pribadi seseorang.

Bentuk ketimpangan gender lainnya adalah marginalisasi adalah suatu proses penyisihan yang mengakibatkan kemiskinan bagi perempuan atau laki-laki, bentuknya bermacam-macam misalnya terpinggirkannya karier perempuan untuk menjadi pimpinan, promosi atau pendidikan lanjut karena perempuan dianggap tidak sesuai untuk menjadi pimpinan, perempuan  tidak perlu pendidikan tinggi karena akhirnya nanti juga ke dapur, adanya anggapan bahwa laki-laki sebagai penyangga ekonomi keluarga; 4) beban ganda, pembagian tugas dan tanggung jawab yang selalu memberatkan perempuan, jumlah jam kerja wanita untuk kegiatan reproduksi dan produksi lebih banyak laki-laki.

Sub ordinasi juga merupakan bentuk ketimpangan gender, adalah sikap atau tindakan masyarakat yang menempatkan  perempuan pada posisi yang lebih rendah dibanding laki-laki, dibangun atas dasar keyakinan satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama dibanding yang lain. Bentuknya bermacam-macam misalnya perempuan diposisikan sebagai konco wingking (teman dibelakang), dalam pendidikan anak perempuan lebih dikalahkan dari laki-laki, perempuan dianggap tidak cocok untuk berbagai pekerjaan, mengurus rumahtangga dianggap sebagai kodrat perempuan, dan lain-lain.

Pengarusutamaan gender juga merupakan hasil kesepakatan dalam Konferensi Hak Azasi Manusia di Wina, Austria pada 1993 dan International Conference Population Development (ICPD) di Cairo Mesir pada 1994 Kesepakatan ini dipertegas lagi dengan lahirnya rencana aksi Beijing dan Konferensi Perempuan ke IV di Beijing, Cina pada 1995. Konferensi Perempuan di Beijing sering disebut sebagai momentum penting perjuangan meningkatkan harkat dan martabat kaum perempuan sedunia. Mengacu pada definisi Kesehatan Reproduksi yang disepakati dalam ICPD, yaitu  keadaan sejahtera fisik, mental dan sosial yang utuh, bukan hanya bebas dari penyakit dan kecacatan, dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi serta prosesnya. Dari definisi tersebut tersirat hak-hak reproduksi meliputi: a) Hak dasar pasangan dan individu  untuk menentukan secara bebas dan bertanggung jawab atas jumlah dan jarak kelahiran anak, mendapatkan informasi, serta cara-cara untuk melaksanakan hal tersebut; b) Hak untuk mencapai standar tertinggi kesehatan reproduksi dan seksual; dan c) Hak untuk membuat keputusan yang terbebas dari diskriminasi, paksaan dan kekerasan.

Sedangkan hak kesehatan seksual merupakan hak semua orang untuk memutuskan secara bebas dan bertanggung jawab atas semua aspek seksualitasnya termasuk melindungi dan memelihara kesehatan reproduksi dan seksualnya. Terbebas dari diskriminasi, paksaan atau kekerasan terhadap kehidupan seksualnya. Kesetaraan, persetujuan penuh, saling menghormati dan tanggung jawab bersama dalam hubungan seksual.  Hak-hak kesehatan reproduksi dan seksual  tersebut juga telah tercantum dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia no 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi.  Memperhatikan hak-hak reproduksi dan seksual tersebut, maka pelayanan kesehatan reproduksi dan seksual meliputi: 1) Pelayanan dan konseling, pemberian informasi keluarga berencana; 2) Asuhan kehamilan, persalinan dan nifas; 3) Asuhan bayi baru lahir; 4) Pencegahan dan pengobatan penyakit menular seksual dan infeksi saluran reproduksi; 5) Pelayanan aborsi aman dan penanganan komplikasi aborsi; 6) Pencegahan dan Pengobatan infertilitas; 7) Pemberian Informasi, Pendidikan dan Konseling Kesehatan Reproduksi dan Seksual.

Oleh sebab itu bidan perlu melengkapi diri dengan informasi dan pemahaman baru mengenai Seksualitas, Kesehatan Reproduksi dan Hak Reproduksi; Kesetaraan Gender, Kekerasan Dalam Rumah Tangga/ Kekerasan terhadap Perempuan, juga memiliki Keterampilan Komunikasi Interpersonal untuk memahami perasaan dan kebutuhan perempuan. Idealnya bidan diberi kompetensi yang lebih untuk dapat menyelenggarakan pelayanan Kesehatan Reproduksi yang bersifat komprehensif.

Tahap perubahan yang diharapkan dari pengarusutamaan gender antara lain mengubah individu, masyarakat atau lembaga yang awalnya buta dan bias gender, meningkat menjadi responsif gender dan akhirnya menjadi sensitif gender. Buta gender adalah kondisi seseorang, masyarakat dimana sama sekali tidak memahami pengertian gender dan permasalahan gender Bias gender adalah kondisi yang menguntungkan pada salah satu jenis kelamin yang berakibat munculnya permasalahan gender.  Netral gender adalah kondisi yang tidak memihak pada salah satu jenis kelamin, dan responsif gender adalah kondisi yang memperhatikan berbagai pertimbangan untuk terwujudnya kesetaraan dan keadilan pada berbagai aspek kehidupan antara laki-laki dan perempuan. Sedangkan sensitif gender adalah kemampuan dan kepekaan dalam melihat dan menilai berbagai aspek kehidupan dan hasil pembangunan dari perspektif gender yaitu menghargai adanya perbedaan aspirasi, kebutuhan, dan pengalaman antara laki-laki dan perempuan.

 Dalam mengukur tingkat sensitivitas gender dapat mengacu pada indikator-indikator yang ada seperti yang tercantum dalam Prime’s Tools untuk mengkaji sensitif gender bagi tenaga pemberi layanan kesehatan (Gender Sensitivity Assessment Tools for Reproductive Health Services Providers) , yaitu:

  1. Bagaimana nilai dan kenyamanan petugas dalam memberikan pelayanan kesehatan reproduksi.
  2. Apakah petugas kesehatan memfasilitasi akses yang sama untuk pelayanan kesehatan reproduksi pada kedua jenis kelamin.
  3. Bagaimana partisipasi laki-laki dalam turut serta meningkatkan status reproduksi perempuan.
  4. Apakah para klien perempuan mengetahui tentang hak reproduksi dan seksualnya.
  5. Apakah interaksi klien dan petugas kesehatan saling menghargai dan perempuan mampu mengambil keputusan.
  6. Apakah kerahasiaan dan privasi selalu menjadi fokus dalam setiap analisis.
  7. Bagaimana proses pengambilan keputusan dalam perencanaan keluarga atau pemilihan alat kontrasepsi.
  8. Apakah instrumen pengkajian data juga melakukan identifikasi terhadap kejadian kekerasan berbasis gender, seperti KDRT, kekerasan anak.
  9. Apakah instrumen pelayanan juga melakukan identifikasi terhadap kejadian risk assessment, skrining dan konseling seputar Infeksi Menular Seksual dan HIV-AIDS.

Seksualitas adalah konsep yang meliputi kemampuan fisik seseorang dalam menerima rangsangan dan kenikmatan seksual serta pembentukan identitas seksual dan gender yang melekat pada perilaku seksual yang dipahami oleh individu maupun masyatrakat Perilaku Seksual meliputi tindakan-tindakan seksual terhadap orang lain atau diri sendiri yang dapat diamati  Kesehatan seksual didefinisikan sebagai peningkatan kualitas hidup dan hubungan pribadi, bertujuan agar setiap orang memiliki kehidupan seksual yang memusakan dan aman. Keterpaduan antara konsep tubuh, intelektual dan sosial individu dengan memperkaya dan memperkuat kepribadian, komunikasi, cinta dan hubungan antar manusia.

Hak-hak Seksual meliputi hak asasi perempuan agar secara bebas dan bertanggung jawab mengontrol dan memutuskan hal-hal terkait dengan seksualitasnya. Seksualitas dalam Perspektif Gender, Dixon- Muller (1996) mengembangkan sebuah kerangka piker sederhana, terdiri dari empat dimensi seksualitas dan perilaku seksual yang berbasis keadilan gender.

Keterkaitan Gender –  Seksualitas – Kesehatan Reproduksi Perempuan

Dampak Konsep Gender Mitos yang merugikan seksualitas perempuan

  1. Tubuh perempuan memalukan
  2. Kebahagiaan perempuan tergantung pada keberadaan laki-laki
  3. Tubuh perempuan milik laki-laki
  4. Perempuan kurang memiliki hasrat seksual
  5. Sunat perempuan mencegah perempuan menjadi nakal
Keterkaitan Dampak Gender dengan Kematian Ibu dan Bayi Pentingnya women centered care = bidan yang responsif gender

Penyebab Kematian Ibu, Neonatal dan Bayi :

  1. Angka Kematian Ibu yaitu sebesar 305/100.000 kelahiran hidup (SUPAS,2015)
  2. Penyebab langsung & Tidak Langsung – 4 TERLALU, 3 TERLAMBAT
  3. Menurut kajian yang dilakukan oleh Kemenkes tahun 2012, 4,1% kematian ibu di Indonesia terjadi karena aborsi dan keguguran— 1,7 juta aborsi terjadi dalam setahun, atau setara dengan 43 kasus setiap 1.000 perempuan usia subur.
  4. Penelitian yang dilakukan UI dan Guttmacher Institute di Jawa tahun 2018 menemukan bahwa 12% perempuan yang mengaku mengalami aborsi akhirnya harus datang ke fasilitas kesehatan karena adanya komplikasi. Sebagian besar perempuan (73%) yang mengalami aborsi melakukannya sendiri. Jamu adalah metode yang paling sering digunakan dan dilaporkan pada 40% kasus, 6% mencari metode operatif, 16% menggunakan pil atau obat-­obatan, sedangkan 39% menggunakan metode lain seperti pijat.

Pengarusutamaan gender (PUG) adalah suatu strategi untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender,  bertujuan agar semua program pembangunan dapat terlaksana dengan mempertimbangkan kesempatan akses perempuan terhadap program pembangunan, dengan adanya kendali dan manfaat untuk perempuan. PUG berfokus pada pemenuhan kebutuhan dasar dan segera serta seringkali berkaitan dengan kelayakan kondisi hidup, pelayanan kesehatan, fasilitas kesehatan seperti ketersediaan air bersih, ketersediaan konsultasi keluarga berencana. Ketimpangan gender dapat terjadi karena ketidakseimbangan pembagian peran produktif, reproduktif dan peran sosial antara laki-laki dan perempuan. Seringkali perempuan dianggap tidak dapat mengambil keputusan termasuk dalam melindungi atas hak reproduksinya sendiri.

Setiap hubungan seksual laki-laki dan perempuan usia subur dapat mengakibatkan kehamilan. Namun demikian tidak setiap kehamilan diharapkan oleh perempuan ditunjukkan pada penelitian oleh FKM UI dan Guttmacher Institute (2020)  bahwa di Pulau Jawa sebanyak 157 perempuan pernah melakukan aborsi karena berbagai alasan diantaranya perempuan telah mempunyai anak banyak sebanyak 23%, perempuan mengalami kekerasan fisik dari pasangannya, dan perempuan bekerja di luar rumah. Pada tahun 2018,  UI dan Guttmacher Institute juga melakukan penelitian  menemukan bahwa 12% perempuan mengaku mengalami aborsi.  Dalam SDKI (2012) dilaporkan bahwa pasangan suami isteri yang ingin membatasi jumlah anak sebanyak 50%, penggunaan alat kontrasepsi pada isterinya sebanyak 62%, kondom dan senggama terputus masing-masing 2%, dan sterilisasi pria kurang dari 1%. Demikian pula dilaporkan pada SDKI (2017) sebagian besar pengguna kontrasepsi adalah perempuan, laki-laki berkontribusi penggunaan kontrasepsi MOP sebanyak 0,2% dan kondom sebanyak 3,1% dan tidak menggunakan kontrasepsi sebanyak 92,5%. Padahal dengan MOP angka kegagalan hanya 0.01 dari 100 dan penggunaan kondom yang benar efektif untuk pencegahan kehamilan ( angka kegagalan 2 dari 100 pengguna). Angka drop out tersebut disebabkan karena wanita sering mengalami efek samping yang membuat wanita merasa tidak nyaman. Untuk itu seyogyanya laki-laki ikut berperan dalam penggunaan kontrasepsi baik kondom maupun MOP.

Dalam penelitian lain, menunjukkan fakta bahwa perempuan menikah lebih banyak yang melakukan aborsi (61 %). salah satu penyebab dari aborsi tersebut adalah akibat kehamilan yang tidak diinginkan. Seperti di ketahui salah satu penyebab kehamilan yang tidak diinginkan adalah karena drop out kontrasepsi yang masih banyak terjadi terutama pada pengguna suntik dan pil (13%).Hal tersebut berkontribusi terjadinya kehamilan tidak diharapkan. Sehingga mendorong perempuan untuk mencari layanan aborsi sedangkan aborsi berkontribusi besar terhadap Angka Kematian Ibu. Diperkirakan terdapat 1,7 juta aborsi terjadi dalam setahun, atau setara dengan 43 kasus setiap 1.000 perempuan usia subur.

Kontribusi  Bidan dalam Kesehatan Perempuan melalui Respectfully Midwifery Care dan Pemberdayaan Perempuan.

Fungsi reproduksi perempuan yang paling utama meneruskan dan melahirkan generasi penerus yang rentan mengalami komplikasi yang dapat berakhir dengan kematian ibu dan bayi. Kematian ibu dan bayi menunjukkan adanya ketimpangan gender. Bidan sebagai pengawal dan penjaga kesehatan perempuan dalam menjalankan fungsi dan proses reproduksinya memiliki peran penting dan strategis. Bidan adalah tenaga kesehatan profesional yang bertanggung jawab dan akuntabel terhadap pelayanan kesehatan perempuan dan anaknya. Bidan bekerja sebagai mitra perempuan untuk memberikan dukungan, asuhan, nasehat selama menjalankan fungsi dan proses reproduksinya. Perempuan adalah tiang negara karena ditangan perempuan, generasi bangsa ini dilahirkan dan dididik. Perempuan pula sebagai sumber daya insani merupakan pendidik pertama dan utama dalam keluarga.

Berdasarkan fakta tersebut diatas dirasakan penting Pengembangan Program Pendidikan dengan  mengarusutamaan gender  bertujuan agar  program pendidikan kebidanan menjadi lebih kuat, menghasilkan lulusan yang terampil dan tangguh, memiliki rasa percaya diri untuk memperjuangkan hak-hak reproduksi.  Guna membantu perempuan terutama pada masyarakat dan rumah tangga miskin dan terpinggirkan, agar terbebas dari risiko reproduksi yang mengancam kesehatan, dan perempuan lebih percaya diri dalam mengambil tanggung jawab atas kehidupan reproduksinya sendiri.

   

1 thought on “Pengarusutamaan Gender sebagai Upaya Pencegahan Kematian Ibu”

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Other Recent Articles

Scroll to Top
Whatsapp
Butuh Batuan?
Halo,
Ada yang dapat kami bantu?