Oleh : Hetty Astri, M.Kes, Dr. Erika Yulita Ichwan, M.Keb, Sri Mulyati, M.Kes
Remaja Gen Z hidup dalam ekosistem digital yang selalu terhubung. Di tengah peluang belajar dan relasi yang luas, muncul bentuk kekerasan berbasis gender online (KBGO) yang kian mengkhawatirkan, salah satunya cyberflashing, pengiriman paksa gambar/visual alat genital atau materi seksual tanpa persetujuan penerima. Sejumlah laporan global menempatkan remaja, terutama perempuan muda, sebagai kelompok paling rentan menjadi korban kekerasan digital (UNFPA Indonesia, 2025; UNFPA, 2024).
Artikel ini merupakan tinjauan naratif yang mengintegrasikan bukti internasional mengenai teknologi-fasilitasi kekerasan seksual (technology-facilitated sexual violence/TFSV), image-based sexual abuse (IBSA), dan cyberflashing, serta data nasional KBGO, untuk menganalisis implikasinya terhadap kesehatan mental dan seksual remaja. Berbagai studi menunjukkan bahwa korban TFSV dan IBSA mengalami distres psikologis berat, termasuk kecemasan, depresi, hingga ide bunuh diri, disertai gangguan relasi sosial dan pendidikan (Patel & Roesch, 2022; Hellevik et al., 2025).
Dalam perspektif kesehatan reproduksi, cyberflashing bukan sekadar “gangguan” di layar gawai, tetapi bagian dari kontinum kekerasan seksual yang mengganggu rasa aman tubuh, konsep diri seksual, dan kemampuan remaja membangun relasi intim yang sehat. Artikel ini mengusulkan integrasi isu cyberflashing ke dalam pendidikan kesehatan reproduksi komprehensif berbasis hak dan penguatan ketahanan digital remaja.
1. Pendahuluan: Notifikasi yang Mengubah Cara Pandang Remaja terhadap Tubuhnya
Bayangkan seorang siswi SMA, 16 tahun, sedang menunggu bus sepulang sekolah. Ponselnya bergetar. Notifikasi AirDrop muncul sebuah gambar eksplisit alat kelamin laki-laki dari pengirim tak dikenal. Dalam beberapa detik, ruang publik berubah menjadi ruang yang terasa mengancam. Ia tidak disentuh secara fisik, tetapi tubuhnya terasa “diinvasi”. Malu, jijik, takut, semua bercampur.
Pengalaman seperti ini bukan lagi sekadar cerita di film. Survei untuk Departemen Digital, Budaya, Media dan Olahraga (DCMS) di Inggris menemukan bahwa lebih dari tiga perempat anak perempuan usia 12–18 tahun pernah dikirimi gambar telanjang laki-laki tanpa diminta, dan mayoritas memaknainya sebagai pelecehan seksual (Safer Internet Centre & DCMS, 2021).
Di Indonesia, peningkatan kasus kekerasan berbasis gender online, termasuk pengiriman konten seksual tanpa persetujuan, terlihat jelas selama pandemi Covid-19. Komnas Perempuan mencatat lonjakan tajam kasus KBGO yang dilaporkan ke lembaga layanan maupun langsung ke Komnas, dengan peningkatan hampir empat kali lipat antara 2019 dan 2020 (Komnas Perempuan, 2021; Kementerian PPPA, 2021).
Remaja adalah pengguna internet yang sangat aktif, tetapi literasi keamanan digital dan kesadaran mereka terhadap KBGO sering kali tertinggal (Abidjulu & Banurea, 2025). Dalam konteks inilah cyberflashing perlu dipahami sebagai ancaman nyata bagi kesehatan mental dan seksual remaja, bukan sekadar “iseng” atau “candaan online”.
2. Apa Itu Cyberflashing dalam Bingkai KBGO?
Secara sederhana, cyberflashing adalah tindakan mengirimkan gambar atau video seksual, biasanya alat kelamin (sering disebut dick pic), kepada orang lain tanpa persetujuan, melalui media seperti Bluetooth, AirDrop, DM media sosial, aplikasi kencan, atau platform perpesanan lainnya (The Cyber Helpline, 2024; DPP Law, 2022).
Sejumlah literatur hukum dan feminis memposisikan cyberflashing sebagai bentuk pelecehan seksual digital yang berdampak serius terhadap rasa aman penerima, bukan sekadar komunikasi “nakal” (McGlynn & Johnson, 2021; Dragiewicz, 2021).
Dalam kerangka KBGO, cyberflashing dapat ditempatkan pada kategori:
-
Pelecehan online (cyber harassment) dan konten seksual non-konsensual,
-
yang dilakukan melalui pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (Association for Progressive Communications, 2017 dalam Abidjulu & Banurea, 2025).
Komnas Perempuan menggarisbawahi bahwa KBGO merupakan bagian dari kekerasan berbasis gender yang dimediasi teknologi, di mana perempuan dan anak perempuan menanggung beban ketidaksetaraan gender di ruang digital maupun luring (Komnas Perempuan, 2024). Dengan demikian, cyberflashing bukan fenomena terpisah, melainkan satu titik di sepanjang kontinum kekerasan seksual, dari catcalling, pelecehan verbal, kiriman gambar seksual, hingga kekerasan fisik dan pemaksaan hubungan seksual (Hayes & Dragiewicz, 2018).
3. Seberapa Sering Cyberflashing dan TFSV Terjadi pada Remaja?
Penelitian yang secara spesifik menghitung prevalensi cyberflashing pada remaja masih terbatas. Namun, gambaran mengenai technology-facilitated sexual violence (TFSV) dan image-based sexual abuse (IBSA) memberikan konteks penting.
Sebuah meta-analisis terhadap 32.247 responden dari 20 sampel penelitian internasional menunjukkan bahwa:
-
sekitar 17,6% pernah diambil gambarnya tanpa izin,
-
8,8% pernah mengalami penyebaran sext tanpa persetujuan,
-
7,2% pernah diancam akan disebarkan konten intimnya (Patel & Roesch, 2022).
Studi sistematik terbaru mengenai IBSA pada anak muda usia 10–24 tahun menyimpulkan bahwa bentuk-bentuk kekerasan ini “semakin sering” dialami remaja dan pemuda, dengan konsekuensi psikososial yang berat (Hellevik et al., 2025).
Di Inggris, data kampanye Stop Cyberflashing dan Safer Internet Centre menunjukkan:
-
>75% anak perempuan usia 12–18 tahun pernah menerima kiriman gambar telanjang yang tidak diminta,
-
banyak yang menerimanya saat menggunakan transportasi publik, di jalan, atau di ruang sosial lain yang seharusnya netral (Safer Internet Centre & DCMS, 2021).
Di Indonesia, data survei nasional kekerasan terhadap perempuan menunjukkan:
-
kelompok 15–19 tahun adalah kelompok perempuan paling rentan terhadap kekerasan digital,
-
bentuk kekerasan digital ini termasuk pengiriman pesan atau gambar seksual tanpa persetujuan (UNFPA Indonesia, 2025; UNFPA, 2024).
Program pengabdian masyarakat di SMP Negeri 11 Kota Jayapura, misalnya, menemukan bahwa sebelum edukasi, pengetahuan remaja tentang KBGO sangat rendah; setelah intervensi interaktif, persentase remaja yang memahami istilah dan bentuk KBGO meningkat dari hampir nol menjadi hampir 100% (Abidjulu & Banurea, 2025).
Temuan-temuan ini memberi pesan tegas: remaja memang sering terpapar kekerasan seksual berbasis gambar dan pesan di dunia digital, tetapi banyak yang tidak memiliki bahasa, konsep, ataupun dukungan yang memadai untuk memahaminya sebagai bentuk kekerasan.
4. Mengapa Cyberflashing Membahayakan Kesehatan Mental Remaja?
4.1. Distres psikologis yang mirip dengan kekerasan seksual luring
Tinjauan sistematik mengenai IBSA pada anak muda menunjukkan bahwa korban kerap mengalami:
-
rasa takut, malu, jijik, dan bersalah,
-
kecemasan dan depresi,
-
isolasi sosial, perundungan lanjutan, dan bahkan ide bunuh diri (Hellevik et al., 2025).
Meta-analisis TFSV juga mencatat bahwa paparan kekerasan seksual berbasis teknologi berkaitan dengan masalah kesehatan mental seperti depresi, kecemasan, dan mekanisme koping yang buruk (Patel & Roesch, 2022).
Walaupun banyak studi ini membahas IBSA secara umum, logika psikologinya serupa untuk cyberflashing. Penerima gambar genital yang eksplisit tanpa persetujuan:
-
kehilangan kontrol atas apa yang “masuk” ke dalam ruang visualnya,
-
dapat merasa tubuhnya sedang diobjektifikasi atau dilanggar,
-
dipaksa memproses rangsangan seksual yang mungkin belum siap secara emosional maupun usia.
Bagi remaja yang sedang membentuk identitas diri dan identitas seksual, pengalaman seperti ini bisa menjadi “core memory” negatif yang melekat pada cara mereka memandang tubuh, seksualitas, dan lawan jenis.
4.2. Ketidakamanan di ruang publik & digital
Penelitian di Inggris menunjukkan bahwa cyberflashing sering terjadi di ruang publik—di kereta, bus, atau kafe—melalui fitur seperti AirDrop (Safer Internet Centre & DCMS, 2021; McGlynn & Johnson, 2021).
Akibatnya, remaja (terutama perempuan):
-
merasa ruang publik bukan lagi aman,
-
mulai menghindari transportasi atau tempat tertentu,
-
merasakan kecemasan antisipatif setiap kali ada notifikasi masuk.
Rasa takut yang mengiringi aktivitas sehari-hari ini jelas berdampak pada kualitas hidup dan kesehatan mental remaja.
4.3. Dampak khusus pada remaja minoritas seksual dan gender
Penelitian pada 3.807 remaja menunjukkan bahwa remaja minoritas seksual dan gender (LGBTQ+) memiliki risiko lebih tinggi mengalami TFSV, dan melaporkan kondisi kesehatan mental yang lebih buruk dibanding sebaya heteroseksual. Namun, ketahanan digital (digital resilience) dapat menjadi faktor pelindung yang mengurangi dampak negatif TFSV terhadap kesehatan mental (Amadori & Brighi, 2025).
Ini berarti, bagi remaja yang sudah menghadapi stigma sosial karena orientasi seksual atau identitas gender, cyberflashing dan kekerasan seksual digital lain bisa menjadi lapisan kekerasan ganda yang memperburuk kerentanan psikologis mereka.
5. Implikasi bagi Kesehatan Seksual & Reproduksi Remaja
5.1. Gangguan rasa aman tubuh (bodily autonomy)
Dalam kerangka hak kesehatan seksual dan reproduksi, setiap remaja berhak:
-
merasa aman di tubuhnya,
-
menentukan kapan, bagaimana, dan dengan siapa ia berinteraksi secara seksual.
Cyberflashing secara langsung melanggar hak ini. Pengalaman menerima gambar genital tanpa izin dapat:
-
mengaburkan batas antara seksualitas yang sehat dan pelecehan,
-
membuat remaja mengira bahwa tindakan agresif semacam ini adalah “hal biasa di dunia online”,
-
menurunkan standar mereka atas bagaimana mereka seharusnya diperlakukan dalam relasi.
Konsep bodily autonomy yang rapuh ini berpotensi mempengaruhi keputusan remaja dalam hubungan pacaran, termasuk dalam hal persetujuan (consent), penggunaan kontrasepsi, atau kemampuan berkata “tidak”.
5.2. Relasi dengan seks, konsen, dan pencarian layanan
Literatur TFSV dan IBSA menunjukkan bahwa korban sering kali merasa malu dan bersalah, bahkan ketika mereka sebenarnya tidak berkontribusi apa pun terhadap terjadinya kekerasan (Hellevik et al., 2025; Patel & Roesch, 2022).
Rasa malu ini bisa:
-
menghambat remaja untuk bercerita kepada orang dewasa tepercaya,
-
membuat mereka enggan mengakses layanan kesehatan reproduksi seperti konseling, layanan PKPR, atau klinik remaja,
-
menurunkan keberanian untuk bertanya tentang seks yang aman, kontrasepsi, atau infeksi menular seksual.
Dalam jangka panjang, ketakutan dan ketidakpercayaan ini dapat menyulitkan layanan kesehatan untuk menjangkau mereka yang sebenarnya paling membutuhkan dukungan.
5.3. Normalisasi kekerasan dan risiko perilaku berisiko
Penelitian tentang kiriman gambar genital tanpa diminta (unsolicited dick pics) menunjukkan bahwa sebagian pelaku memandang tindakan ini sebagai bentuk “hak seksual” atau ekspresi “kejantanan”, bukan pelecehan (Hayes & Dragiewicz, 2018).
Jika narasi seperti ini menyebar tanpa dilawan, remaja dapat:
-
menormalisasi perilaku yang sebenarnya merupakan kekerasan seksual,
-
mengulang pola sebagai pelaku,
-
atau menerima perilaku serupa dalam relasi pacaran mereka.
Normalisasi ini berbahaya bagi kesehatan reproduksi karena:
-
mengaburkan makna persetujuan (consent),
-
membuka ruang bagi praktik seks yang tidak aman, pemaksaan, dan relasi yang tidak setara gender,
-
melemahkan pesan-pesan pendidikan kesehatan reproduksi yang menekankan relasi saling menghormati.
6. Mengapa Banyak Pelaku Merasa Wajar Mengirim Cyberflashing?
Penelitian kualitatif mengenai pengiriman gambar genital tanpa diminta menunjukkan bahwa motif pelaku kompleks: mulai dari mencari perhatian, sensasi, hingga rasa berhak atas tubuh orang lain (Hayes & Dragiewicz, 2018).
Kajian lebih baru tentang cyberflashing juga menyoroti bahwa:
-
sebagian pelaku menganggapnya cara “mengukur” ketertarikan lawan jenis,
-
sebagian lain melakukannya sebagai bentuk intimidasi atau hukuman,
-
ada yang melakukannya dalam konteks bercanda dengan teman, tanpa mempertimbangkan dampak terhadap penerima (Karasavva et al., 2023; McGlynn & Johnson, 2021).
Dari sudut pandang kesehatan reproduksi remaja, pola ini menunjukkan kegagalan pendidikan seksualitas untuk:
-
mengajarkan empati terhadap pengalaman seksual orang lain,
-
menegaskan bahwa seksualitas harus berlandaskan consent, kesetaraan, dan rasa aman,
-
membongkar norma maskulinitas toksik yang mengaitkan “kejantanan” dengan dominasi dan pengabaian batas orang lain.
7. Apa yang Bisa Dilakukan: Integrasi ke Pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja
UNFPA menekankan bahwa kekerasan digital harus ditangani sebagai bagian dari spektrum kekerasan berbasis gender, dan pencegahannya perlu diintegrasikan ke dalam pendidikan seksualitas komprehensif dan program kesehatan reproduksi remaja (UNFPA, 2024; UNFPA Indonesia, 2025).
Berikut beberapa implikasi praktis:
-
Memasukkan cyberflashing secara eksplisit dalam materi KBGO & kesehatan reproduksi
-
Bukan hanya menyebut “KBGO” secara umum, tetapi menjelaskan contoh konkret: kiriman gambar alat kelamin yang tidak diminta, pesan seksual agresif, permintaan foto intim, dll.
-
Menjelaskan mengapa ini termasuk kekerasan dan bukan sekadar “godaan” atau “candaan”.
-
-
Menguatkan bahasa tentang consent dan hak atas tubuh
-
Menegaskan bahwa consent berlaku juga di ruang digital: tidak ada orang yang berhak memaksa orang lain melihat gambar atau video seksual.
-
Mengaitkan dengan hak atas kesehatan seksual dan reproduksi: hak untuk merasa aman, bebas dari kekerasan, dan membuat keputusan tentang tubuh sendiri.
-
-
Mengembangkan ketahanan digital (digital resilience)
-
Sejalan dengan temuan bahwa ketahanan digital dapat memoderasi dampak TFSV terhadap kesehatan mental (Amadori & Brighi, 2025), remaja perlu:
-
tahu cara mengatur privasi, memblokir, dan melaporkan pelaku,
-
memiliki strategi emosional saat menerima konten yang mengganggu (misal: tidak menyalahkan diri, segera mencari dukungan).
-
-
-
Membuka ruang dialog aman di sekolah dan layanan kesehatan remaja
-
Guru BK, konselor sebaya, dan tenaga kesehatan di PKPR perlu terlatih untuk mendengar tanpa menghakimi ketika remaja menceritakan pengalaman cyberflashing.
-
Respon yang menyalahkan korban (misalnya “kan kamu pakai foto profil seksi”, “makanya jangan aktif di medsos”) harus dihindari karena hanya memperburuk rasa malu dan trauma.
-
-
Kolaborasi dengan komunitas dan platform digital
-
Bekerja sama dengan komunitas seperti SAFEnet, organisasi perempuan, dan kelompok remaja untuk mengembangkan kampanye awareness yang menggunakan bahasa dan gaya visual yang dekat dengan Gen Z.
-
Mendorong platform digital untuk menyediakan fitur pelaporan yang mudah dan responsif terhadap kasus cyberflashing dan IBSA.
-
8. Kesimpulan
Cyberflashing adalah salah satu wajah paling jelas dari kekerasan seksual yang bermigrasi ke ruang digital. Bagi remaja yang hidup “online 24/7”, pengalaman menerima gambar genital atau konten seksual tanpa persetujuan bukan sekadar gangguan sepele, tetapi dapat menjadi sumber trauma yang mengganggu kesehatan mental, rasa aman tubuh, dan perkembangan seksualitas yang sehat.
Bukti global dan nasional menunjukkan bahwa:
-
kekerasan seksual berbasis teknologi semakin lazim dialami remaja,
-
berdampak pada kecemasan, depresi, isolasi sosial, dan gangguan pendidikan,
-
dan berkelindan dengan isu ketidaksetaraan gender, stigma, serta ketimpangan literasi digital.
Dalam kerangka kesehatan reproduksi remaja, mengabaikan cyberflashing berarti membiarkan satu mata rantai penting dalam kontinum kekerasan seksual tidak tertangani. Integrasi isu ini ke dalam pendidikan kesehatan reproduksi komprehensif, penguatan ketahanan digital, serta layanan dukungan yang berperspektif korban adalah langkah strategis untuk melindungi Generasi Emas yang tumbuh di tengah dunia digital yang tak pernah tidur.
Daftar Pustaka
Abidjulu, F.C. & Banurea, R.N. (2025) ‘SADAR Kekerasan Gender Berbasis Online (KBGO): Edukasi Digital bagi Remaja SMP di Kota Jayapura’, Abdimas Altruis: Jurnal Pengabdian kepada Masyarakat, 8(2), pp. 180–186.
Amadori, A. & Brighi, A. (2025) ‘Technology-facilitated sexual violence among sexual and gender minority youth: The moderating role of digital resilience’, Computers in Human Behavior, 166, 108576.
Association for Progressive Communications (2017) Online Gender-Based Violence. (dikutip dalam Abidjulu & Banurea, 2025).
Dragiewicz, M. (2021) ‘Clare McGlynn and Kelly Johnson: Cyberflashing: Recognising Harms, Reforming Laws’, Feminist Legal Studies, 30(2), pp. 235–239.
Hayes, R.M. & Dragiewicz, M. (2018) ‘Unsolicited dick pics: Erotica, exhibitionism or entitlement?’, Women’s Studies International Forum, 71, pp. 114–120.
Hellevik, P.M., Haugen, L.-E.A. & Överlien, C. (2025) ‘Outcomes of image-based sexual abuse among young people: A systematic review’, Frontiers in Psychology, 16, 1599087.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) (2021) ‘Perjuangan Penyintas KBGO, Cerita di Balik Angka’.
Komnas Perempuan (2021) CATAHU 2021: Perempuan dalam Himpitan Pandemi: Lonjakan Kekerasan Seksual, Kekerasan Siber, Perkawinan Anak dan Keterbatasan Penanganan di Tengah Covid-19.
Komnas Perempuan (2024) Kajian 21 Tahun Catatan Tahunan Komnas Perempuan.
McGlynn, C. & Johnson, K. (2021) Cyberflashing: Recognising Harms, Reforming Laws. Bristol: Bristol University Press.
Patel, U. & Roesch, R. (2022) ‘The prevalence of technology-facilitated sexual violence: A meta-analysis and systematic review’, Trauma, Violence, & Abuse, 23(2), pp. 428–443.
Safer Internet Centre & Department for Digital, Culture, Media and Sport (DCMS) (2021) ‘Cyberflashing’ (briefing and survey findings on unsolicited nudes among 12–18 year olds).
The Cyber Helpline (2024) ‘What is Cyberflashing? Legal measures, impact & prevention’.
UNFPA (2024) Digital Violence: Forms, Causes and Impacts (educational booklet accompanying the SPHPN 2024 findings).
UNFPA Indonesia (2025) Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2024 – Temuan tentang kekerasan digital terhadap perempuan muda.
